Sabtu, 15 Juni 2013

dilema

DILEMA


Fee menerobos pagar pembatas jalan, menyeberang dengan cepat. Nyaris dia menabrak pedagang rokok asongan. Napasnya terpompa lebih cepat. Sesaat, Fee berhenti melangkah, mengatur debaran dadanya yang terasa tak wajar. Kemudian menanyakan waktu pada seorang laki-laki setengah tua yang lewat didepannya. Jam tiga lewat limapuluh menit. Masih ada waktu sepuluh menit. Itu artinya dia tak akan terlambat. Tempat yang ditujunya –resto pizza yang jadi tempat pertemuan—sudah Nampak di depan mata.
Fee mencoba mengamati penampilannya lewat kaca gedung perkantoran. Tak rapi, tapi juga tak terlalu berantakan. Rambutnya memang agak tak beraturan, namun dia merasa cukup merapikannya dengan tangan.
Fee tersentak. Suara knalpot motor mengejutkannya. Dia berpaling. Melihat La dan We tertawa sambil melambaikan tangan.
Gue duluan, ya!” teriak La.
Fee cuma memandang dari belakang. Percuma membalas. Nggak penting. Pasti tak terdengar juga.
Fee! Oi, duluan, ya!”
Fee berpaling. Sis melambaikan tangan, wajahnya dengan rambut baru seminggu dicat pirang, terlihat gembira dari dalam mobil.
Wow, sudah banyak yang datang. Untung, akhirnya dia memutuskan ikut datang. Kalau tidak…? Ah, pasti ini akan jadi mimpi buruk.
Yah… ini memang saat yang sangat spesial. Hamper semua cewek yang duduk di kelas 3 C, hari ini memutuskan untuk berkumpul di resto pizza. Bukan acara perpisahan resmi dari sekolah. Tapi, acara yang –entah ide dari siapa—memang berkesan akan jadi spesial. Undangannya pun beredar lewat SMS berantai.

Fee mulanya malas. Maklum, untuk acara kumpul ini biaya ditanggung ramai-ramai alias patungan. Dia tak punya uang untuk itu. Minta sama mama… ah, bagaimana dia tega. Sudah tiga minggu ini, sejak dapat kabar papa kena PHK, wajah mama terlihat sangat murung. Minta uang untuk menghadiri acara semacam ini, di saat suasana rumah lagi murung begini… mana mungkin.
“Lo, harus datang, Fee. Kapan lagi kita bisa kumpul gila-gilaan seperti ini?” bujuk La ketika kemarin menelponnya.
“Tapi, La…”
“Gue nggak mau denger alesan lo. Ini cuma cewek-cewek aja kok. Gue jamin Rama nggak bakal ada. Jadi lo nggak bakal ketemu dia.”
“Bukan soal itu. Tapi…” Fee bingung. La pasti akan salah sangka. Tapi, Fee nggak mungkin juga bilang kalau ini bukan karena Rama, cowok yang dua bulan lalu resmi putus dengannya. Rasanya berat banget untuk mengakui kalau dia tak bisa datang karena tak tahu harus darimana mendapatkan uang. “Alaaa udah deh. Lo datang ya. Jangan sampai nggak.”
Blep!
Telepon terputus.
Fee bengong. Lama.
Bayangan tentang betapa asyiknya suasana pertemuan itu, betapa dalam kenangan yang bakal didapatnya nanti, betapa ceria wajah teman-temannya nanti, akhirnya membuat Fee mengambil keputusan itu: menjual hape-nya!
Yap, hanya itu yang terpikir. Dan dia merasa itu jauh lebih baik tinimbang dia meminta uang pada mama. Apakah artinya hape disbanding momen spesial ini. Toh, kapan-kapan bisa beli lagi. Dan dia tak mau menimbang lebih jauh lagi.
Akhirnya…
Fee melangkah lebih cepat. Menaiki anak tangga, mendorong pintu kaca, melihat berbagai senyum teman-teman menyambutnya.
Kok sendiri, sih? Bukannya bareng gue aja. Hape lo kenapa sih? Gue telpon nggak masuk-masuk.” Sis merepet, menyambutnya.
Oi, foto bareng dong. Ayo, Fee, cepetan. Eh, Sis, lo jangan ngalangin yang di belakang. Siap-siap, ya. Senyum!” Wie memberi aba-aba.
Semua tersenyum. Tertawa. Saling ledek. Saling cerita tentang hal yang lucu-lucu. Berebut pizza. Ah… betapa semua terlupa. Fee bahagia. Pertemuan ini begitu berkesan.
Aduh, seneng banget ya. Saat seperti ini pasti susah untuk terulang lagi.” Kata Tamy, cewek berambut keriwil yang berencana melanjutkan sekolah ke Bandung.
Iya ya.” Kata La. Lalu, mendadak wajahnya agak mendung. “Ah, jadi sedih. Udah, ah, jangan ngomongin itu. Nanti sedih. Ayo, foto bareng lagi. Pake kameraku dong. Eh, Mas… Mas, tolong ya, fotoin.” La menghampiri pelayan resto sambil menyodorkan kamera digitalnya.
Semua berebut posisi. Sis yang paling sadar kamera nyerobot ke depan. Senyum mengembang di semua wajah. Tawa mereka terus bergema. Hingga tiba waktu untuk berpisah.
Sis berbaik hati mengantar Fee hingga ujung jalan. Setelah mobil Sis menghilang di tikungan, barulah Fee melangkah pulang.
Mama menyambutnya di depan pintu dengan wajah terhias senyum. Tumben. Ada apa?
Kamu dari mana?” Tanya mama dengan nada sabar.
Maaf, Fee lupa bilang. Tadi… ada acara kumpul dengan teman-teman sekolah.” Ada nada bersalah menjalar dalam diri Fee.
Mama ada kabar yang menggembirakan. Mau tau, nggak?” Mata mama berbinar.
Kabar apa, Ma? Mau dong.”
Minggu depan Papa akan bekerja lagi di perusahaan baru.”
Fee ternganga. Tak menyangka. Mulutnya mendadak terasa kaku. Dia tak bisa berkata-kata. Mama merentangkan tangannya. Fee menghambur dan menangis dalam pelukan mama. Tersedu. Dan dia tahu, mama dan papa pasti tak akan marah bila nanti dia mengaku telah menjual hape-nya. Pasti. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar