DILEMA
Fee menerobos pagar pembatas
jalan, menyeberang dengan cepat. Nyaris dia menabrak pedagang rokok
asongan. Napasnya terpompa lebih cepat. Sesaat, Fee berhenti
melangkah, mengatur debaran dadanya yang terasa tak wajar. Kemudian
menanyakan waktu pada seorang laki-laki setengah tua yang lewat
didepannya. Jam tiga lewat limapuluh menit. Masih ada waktu sepuluh
menit. Itu artinya dia tak akan terlambat. Tempat yang ditujunya
–resto pizza yang jadi tempat pertemuan—sudah Nampak di depan
mata.
Fee
mencoba mengamati penampilannya lewat kaca gedung perkantoran. Tak
rapi, tapi juga tak terlalu berantakan. Rambutnya memang agak tak
beraturan, namun dia merasa cukup merapikannya dengan tangan.
Fee
tersentak. Suara knalpot motor mengejutkannya. Dia berpaling.
Melihat La dan We tertawa sambil melambaikan tangan.
“Gue duluan, ya!” teriak La.
Fee
cuma memandang dari belakang. Percuma membalas. Nggak penting. Pasti
tak terdengar juga.
“Fee! Oi, duluan, ya!”
Fee
berpaling. Sis melambaikan tangan, wajahnya dengan rambut baru
seminggu dicat pirang, terlihat gembira dari dalam mobil.
Wow,
sudah banyak yang datang. Untung, akhirnya dia memutuskan ikut
datang. Kalau tidak…? Ah, pasti ini akan jadi mimpi buruk.
Yah…
ini memang saat yang sangat spesial. Hamper semua cewek yang duduk
di kelas 3 C, hari ini memutuskan untuk berkumpul di resto pizza.
Bukan acara perpisahan resmi dari sekolah. Tapi, acara yang –entah
ide dari siapa—memang berkesan akan jadi spesial. Undangannya pun
beredar lewat SMS berantai.
Fee
mulanya malas. Maklum, untuk acara kumpul ini biaya ditanggung
ramai-ramai alias patungan. Dia tak punya uang untuk itu. Minta sama
mama… ah, bagaimana dia tega. Sudah tiga minggu ini, sejak dapat
kabar papa kena PHK, wajah mama terlihat sangat murung. Minta uang
untuk menghadiri acara semacam ini, di saat suasana rumah lagi
murung begini… mana mungkin.
“Lo,
harus datang, Fee. Kapan lagi kita bisa kumpul gila-gilaan seperti
ini?” bujuk La ketika kemarin menelponnya.
“Tapi,
La…”
“Gue
nggak mau denger alesan lo. Ini cuma cewek-cewek aja kok. Gue jamin
Rama nggak bakal ada. Jadi lo nggak bakal ketemu dia.”
“Bukan
soal itu. Tapi…” Fee bingung. La pasti akan salah sangka. Tapi,
Fee nggak mungkin juga bilang kalau ini bukan karena Rama, cowok
yang dua bulan lalu resmi putus dengannya. Rasanya berat banget
untuk mengakui kalau dia tak bisa datang karena tak tahu harus
darimana mendapatkan uang. “Alaaa udah deh. Lo datang ya. Jangan
sampai nggak.”
Blep!
Telepon terputus.
Fee bengong. Lama.
Bayangan tentang betapa asyiknya
suasana pertemuan itu, betapa dalam kenangan yang bakal didapatnya
nanti, betapa ceria wajah teman-temannya nanti, akhirnya membuat Fee
mengambil keputusan itu: menjual hape-nya!
Yap, hanya itu yang terpikir.
Dan dia merasa itu jauh lebih baik tinimbang dia meminta uang pada
mama. Apakah artinya hape disbanding momen spesial ini. Toh,
kapan-kapan bisa beli lagi. Dan dia tak mau menimbang lebih jauh
lagi.
Akhirnya…
Fee melangkah lebih cepat.
Menaiki anak tangga, mendorong pintu kaca, melihat berbagai senyum
teman-teman menyambutnya.
“Kok sendiri, sih? Bukannya
bareng gue aja. Hape lo kenapa sih? Gue telpon nggak masuk-masuk.”
Sis merepet, menyambutnya.
“Oi, foto bareng dong. Ayo,
Fee, cepetan. Eh, Sis, lo jangan ngalangin yang di belakang.
Siap-siap, ya. Senyum!” Wie memberi aba-aba.
Semua tersenyum. Tertawa. Saling
ledek. Saling cerita tentang hal yang lucu-lucu. Berebut pizza. Ah…
betapa semua terlupa. Fee bahagia. Pertemuan ini begitu berkesan.
“Aduh, seneng banget ya. Saat
seperti ini pasti susah untuk terulang lagi.” Kata Tamy, cewek
berambut keriwil yang berencana melanjutkan sekolah ke Bandung.
“Iya ya.” Kata La. Lalu,
mendadak wajahnya agak mendung. “Ah, jadi sedih. Udah, ah, jangan
ngomongin itu. Nanti sedih. Ayo, foto bareng lagi. Pake kameraku
dong. Eh, Mas… Mas, tolong ya, fotoin.” La menghampiri pelayan
resto sambil menyodorkan kamera digitalnya.
Semua berebut posisi. Sis yang
paling sadar kamera nyerobot ke depan. Senyum mengembang di semua
wajah. Tawa mereka terus bergema. Hingga tiba waktu untuk berpisah.
Sis berbaik hati mengantar Fee
hingga ujung jalan. Setelah mobil Sis menghilang di tikungan, barulah
Fee melangkah pulang.
Mama menyambutnya di depan pintu
dengan wajah terhias senyum. Tumben. Ada apa?
“Kamu dari mana?” Tanya mama
dengan nada sabar.
“Maaf, Fee lupa bilang. Tadi…
ada acara kumpul dengan teman-teman sekolah.” Ada nada bersalah
menjalar dalam diri Fee.
“Mama ada kabar yang
menggembirakan. Mau tau, nggak?” Mata mama berbinar.
“Kabar apa, Ma? Mau dong.”
“Minggu depan Papa akan bekerja
lagi di perusahaan baru.”
Fee ternganga. Tak menyangka.
Mulutnya mendadak terasa kaku. Dia tak bisa berkata-kata. Mama
merentangkan tangannya. Fee menghambur dan menangis dalam pelukan
mama. Tersedu. Dan dia tahu, mama dan papa pasti tak akan marah bila
nanti dia mengaku telah menjual hape-nya. Pasti. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar